Halaman

Minggu, 23 Juni 2013

Asa Rajawali Galau


Senja sudah tersenyum di ujung jalan
melayang-layang di kejauhan tapi bukan fatamorgana...
samar namun pasti kan berwujud
entah besok, entah lusa, entah kapan tapi pasti

Rajawali yang melesat cepat itu kini melambat dan berhenti
berpikir dalam gamang, kemanakah tujuan?
Dalam deru kendaraan, dalam debu jalanan
dan dalam selimut polusi di setiap dengus hidungnya,
seperti kutukan yang harus dipikul
menempel di setiap pundak penghuni bumi
Rajawali itu kini gemetar dan lelah,
bernafas dalam muslihat dan ambisi,
menggapai segala apa yang digapai,
mematuk apa yang bisa dipatuk,
mencakar apa yang harus dicakari,
menginjak kalau perlu diinjak...
Durhaka...!!!

Kadang hati dibuat mati
Tirani berkedok nurani
Semuanya demi harta dan tahta

Apalah yang kau cari, hai rajawali hitam di kolong langit?
Apalah arti kau rengkuh seisi dunia dengan tukar nyawamu?
Sementara bumi yang kau kembara hanyalah sebuah pinjaman,
dan nafas yang kau hirup hanyalah sebuah titipan...

Oh Tuhan...!!!
Jika sayap ini mulai lemah berkepak
dan rajawali ini tak lagi bisa berpacu,
pun saat 'matahari' bersiap ke peraduan malam,
dan 'senja' dengan genit menghampiri sesaat setelahnya
Biarkan dia keluar dari arena yang tak lagi menjadi kecintaannya

Dia hanya ingin pulang ke rumah impian masa kecilnya
sambil menghayati kutipan amsal-amsal dan injil-injil.
Biarkan dia teguk secangkir kopi seperti raja di teras rumahnya,
bersama buku romansa cinta remaja desa,
dan riuh dendang anak-anak petani mengejar layangan putus

Biarlah kenan Mu ada di atas kepalanya
dan restumu menjawab doanya
Dia hanya ingin menjadi tua dan berumur panjang
di tanah yang Kau berikan padanya
sambil merasai sejuknya udara dalam paru-parunya
dan putihnya kabut awan dalam pandang matanya..

Jumat, 21 Juni 2013

Petani Modoinding Tak Takut Importir dan Spekulan


Dalam banyak berita belakangan ini, kita sering mendapati kabar yang sangat miris tentang nasib banyak petani di Indonesia.

Hasil pertanian yang diolah dengan kucuran keringat, dinanti dan dirawat dengan sepenuh jiwa, setelah panen harganya jatuh, terjun bebas karena ditendang dan diinjak oleh hasil bumi yang diimport dari luar negeri. Salah satu contoh terjadi pada petani-petani bawang putih, bawang merah, jeruk dan apel, kelapa dan cengkih, dan beberapa komoditi lainnya. 

Di saat memasuki musim panen, para spekulan dan importir membanjiri pasar dengan bahan-bahan import yang didapatkan dengan harga lebih murah dari luar negeri, seperti dari China. Akibatnya, harga pasaran menjadi jatuh sampai di titik terendah, petani harus merugi, mengikuti harga jual pasar yang (sebenarnya) di atur para spekulan dan importir yang memiliki kantong dalam dan modal yang super besar.

Dengan kondisi seperti itu, otomatis para petani harus melepas juga hasil panen mereka dengan harga yang sangat murah. Spekulan dan Importir mendapat kesempatan, mereka memborong semua hasil panen dari para petani tersebut (karena harga sudah dibuat jatuh) sehingga mayoritas stock berada di tangan mereka. Pada posisi itu, mereka bisa dengan bebas menentukan kembali harga jual, karena secara teori stock barang hanya ada pada pihak mereka. Yah, merekalah akhirnya jadi pemain tunggal, yang semau-maunya menentukan keuntungan yang ingin mereka dapatkan.

Bagaimana dengan petani Modoinding?
Tulisan ini saya beri judul ‘Petani Modoinding Tak Takut Importir’ alasannya adalah :
Petani Modoinding menghasilkan produksi Hortikultura yang ‘tidak tahan simpan’ jadi, siapa yang berani memborong stok dan menahannya dengan waktu yang lama?

Daun Bawang, Tomat, Kol, Petsai, Seledri dan beberapa jenis sayuran harus ‘fresh from the oven’ sampai ke tangan pemakai akhir. Tidak boleh disimpan terlalu lama. Sementara di lain pihak, hasil-hasil panen dari Modoinding adalah kebutuhan yang selalu dicari setiap hari oleh hampir semua orang, jadi semua hasil panen rata-rata terserap oleh pasar lokal. Kalaupun lebih, petani Modoinding masih bisa berbagi dengan permintaan daerah-daerah lain, bahkan bisa ekspor ke manca Negara.

Spekulan dan Importir bisa saja monopoli pasar karena modalnya besar, dan bahan yang di ‘main’kannya adalah bahan2 yang boleh disimpan/ditimbun untuk waktu yang cukup lama. Seperti kopra, cengkih, bawang putih, bawang merah, jeruk dan apel. Kalau harga lagi tinggi mereka lepas, kalau harga rendah mereka tahan, sambil menunggu saat yang tepat untuk mengambil keuntungan.

Tidak ada spekulan yang berani monopoli hasil panen petani Modoinding, menyimpannya dan memainkan spekulasi harga, dengan maksud mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, dan petani Modoinding dibuat jatuh miskin.

Kesimpulannya, petani Modoinding adalah petani yang merdeka, yang senantiasa merasakan bagaimana manisnya hasil panen pada saat harga pasar sedang tinggi. Petani Modoinding adalah petani hebat dan merdeka. Budaya dan tradisi tanam turun temurun yang diwariskan oleh orang-orang tua sudah merupakan produk tanam yang paling baik dan paling independen.

Yah, petani Modoinding tidak seperti banyak petani di beberapa daerah yang lain, yang hanya senantiasa bergantung pada belas kasih kebijakan pemerintah untuk minta dilindungi dari jerat spekulan dan importir.

A Wonderland Of Minahasa


Sulawesi Utara mempunyai banyak obyek wisata yang luar biasa indah. Daerah-daerah lain di Indonesia juga rata-rata mempunyai banyak obyek wisata unggulannya masing-masing. Mulai dari wisata bahari, wisata hutan, sungai, cagar alam, suaka margasatwa, peninggalan bersejarah, dan lain sebagainya.

Tapi pernahkan kita menyadari bahwa sangat sedikit daerah di Indonesia yang memiliki obyek wisata yang besar dengan luas wilayah sampai satu kecamatan seperti Modoinding? Bagi yang belum banyak mengetahuinya, mari kita berkenalan dengan Modoinding, kecamatan yang seluruh wilayahnya mempunyai cita rasa pemanja pandangan mata, hawa udaranya menyegarkan paru-paru dan kesejukannya membelai-belai lembut setiap inchi dari kulit kita.

Memasukinya dari arah Manado, kita sudah disambut oleh Hutan Tropis yang eksotis menjelang Desa Mokobang, hamparan perkebunan yang terselingi pohon-pohon pinus dan cemara seolah mengangguk-angguk tersenyum kepada setiap pelancong yang rindu keaslian alam yang tidak lagi dijumpa di kota-kota.

Kita yang terpana seolah dibuai dalam lenggang kelok jalanan mendaki dengan udara sejuk yang mulai membelai seolah menyanyikan dendang ‘nina bobo’ lewat sensitivitas kulit ari kita. Belum hilang ucap syukur dalam hati kita pada anugerah alam yang terpapar di pelupuk mata, kembali kita disuguhi rasa takjub akan kreasi anak negeri Mokobang melukiskan keindahan dalam bentuk arsitektur kayu nan megah pada rumah-rumah tradisional rakyat Minahasa yang indah, yang sudah terkenal sampai ke manca Negara.
Yah, usaha anak negeri ini sudah menarik banyak peminat dari puluhan tahun yang lalu, karena rumah-rumah kayu yang mereka hasilkan telah menjadi standar keindahan dan kekuatan yang menjadi syarat utama bagi hotel-hotel dan resort-resort para ‘bule’ di banyak tempat.

Dari sini, kita seolah sudah berada di sebuah negeri impian, negeri yang oleh sebagian orang menjulukinya sebagai ‘sepenggal Taman Eden di jazirah Minahasa’. Dari Mokobang pula, petualangan mata kita sudah dimulai, dimana kita akan memasuki wilayah agrowisata yang sangat luas. Yah, Wisata pertanian dengan landscape yang super menawan. Hamparan perkebunan hortikultura yang tertata secara turun-temurun seolah untuk wisatawan, padahal para leluhur dan anak-anak negeri ini mengolah tanahnya hanya sekedar untuk mendapatkan hasil supaya bisa makan dan mencukupi segala kebutuhan yang mendasar saja. Akan tetapi, karena memang alamnya sudah dikaruniakan keindahan dan kesuburan, maka jadilah wilayah seantero Modoinding ini sebuah area wisata alam yang sayang untuk tidak dikunjungi.

Hamparan perkebunan Hortikultura di kiri-kanan jalan aspal yang berkelok mendaki, seolah mengingatkan kita pada film-film dan novel-novel dongeng yang eksotis dan romantis.

Mulai dari Mokobang, Wulurmaatus, Palelon, Makaaroyen, Pinasungkulan, Sinisir, Lineleyan sampai Kakenturan, semuanya mempunyai keindahan pemandangan perkebunan yang tiada bertara.

Dan oleh perkebunan Daun Bawang, Kentang, Tomat, Kol, Seledri, Petsai, Jahe, dan tanaman Hortikulturan lainnya, ribuan hektar tanah tersulap seperti beralaskan permadani warna-warni berbentuk papan catur yang teratur, berderet-deret, beriring-iring dalam kesatuan pesona yang hanya bisa tercipta pada dataran yang subur, yang terbentengi oleh ratusan bukit dan gunung-gunung yang seolah memagari lembah Modoinding, agar keindahan dan kesuburan tanah ini jangan sampai tercuri. Betapa kita tidak bersyukur. Ini sungguh sebuah Taman Eden, yang oleh Tuhan kita diberi tugas untuk memelihara dan mengusahakannya.

Keramahan dan senyuman tulus warganya, semanis kenangan yang akan kita bawa pulang dari tempat ini. Kendaran Bentor yang lalu lalang dengan pengemudi yang cakap, bisa dijadikan pemandu wisata pribadi yang handal. Jika kita berbicara masalah alam dan perkebunan, mereka pasti akan memberikan cerita yang lengkap dan lebih baik dari sekedar seorang sarjana pertanian yang tidak pernah terjun langsung dalam mengolah dan menggarap kebun. Yah, karena rata-rata semua warga Modoinding adalah petani hortikultura yang hebat, dan memang sudah terlahir secara turun-temurun dari keluarga petani Hortikultura yang hebat pula.

Puas menjelajahi megawisata hortikultura, dengan rasa takjub pada keindahan jengkal demi jengkal tanah Modoinding, kita bisa mencoba menelusui jalan ke arah Kotamobagu untuk sekedar melihat keindahan Danau Mooat yang perawan, airnya yang masih jernih dengan landscape layaknya dalam film-film danau misteri yang melegenda. Benar-benar sebuah sensasi mistis yang menggetarkan lubuk hayal kita yang paling liar.

Obyek foto maupun video terpapar di setiap titik wilayah Modoinding, menjadikan tempat ini sebagai destinasi para seniman foto, wartawan wisata, komunitas blogger yang gemar petualangan alam, maupun para pasangan yang sedang dimabuk asmara, yang menginginkan foto cinta dalam romantisme alam pedesaan, pegunungan, dan perkebunan.

Menggambarkan keindahan Modoinding dalam seantero wilayahnya sungguh melelahkan, ibarat menulis cerita di atas lukisan kuno dari abad pertengahan. Seindah-indah cerita, tak kan pernah seindah lukisan. Sungguh sebuah kesia-sian kalau hanya mendengar dari cerita orang-orang, atau hanya karena membaca artikel ini, karena keindahan Modoinding sesungguhnya hanya bisa kita serap dengan menjejak buminya secara langsung, menghirup udaranya, dan bermesraan dengan belaian sejuknya, yang terkenal lebih sensual dari sekedar kecupan bibir tebal Marilyn Monroe.

So, tunggu apa lagi? Ayo ke Modoinding, apalagi bagi orang Minahasa, jangan pernah menyebut diri sebagai orang Minahasa kalau kita tidak pernah menjejak bumi Modoinding, karena dari ‘Taman Eden’ inilah leluhur Minahasa, Toar dan Lumimuut hidup dan beranak cucu, menyebar memenuhi jengkal demi jengkal tanah Minahasa..

By : Alex Dumanauw
Foto2 dari berbagai sumber website





Selasa, 11 Juni 2013

Dapur Hortikultura Indonesia (Versi Suara Pembaruan 09 Maret 2013)


Sumber Berita :
http://www.suarapembaruan.com/pages/e-paper/2013/03/09/files/assets/basic-html/page15.html
 
Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) yang terdiri dari 15 kabupaten dan kota merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki potensi kekayaan alam sangat besar. Di antara 15 Kabupaten/kota tersebut, Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel), salah satu yang memiliki potensi besar di sektor pertambangan, perikanan, pertanian maupun perkebunan.

Sektor-sektor ini juga memiliki keunggulan-keunggulan komparatif, yang kalau dikelola
secara maksimal akan sangat menjanjikan kesejahteraan masyarakat setempat. Salah satu dari potensi kekayaan alam yang tengah dikembangkan yakni sector pertanian khususnya di bidang tanaman hortikultura.

Ada sekitar 19 jenis tanaman hortikultura yang menjadi andalan Pemkab Minsel, antara lain kentang, kacang merah, kacang panjang, cabe merah, kubis, wortel, sawi, tomat, buncis, ketimun, labu silam, kangkung, bayam, labu kuning dan semangka.

Tanaman hortikultura yang sangat strategis di pasaran itu, saat ini sedang dikembangkan hingga puluhan ribu hektare di 10 desa di Kecamatan Modoinding, Minsel. Ke-10 desa yakni Desa Mokobang, Wulurmaatus, Palelon, Makaaroyen, Pinasungkulan Utara, Pinasungkulan, Linelean, Kakenturan, Kakenturan Barat, dan Sinisir.

Wilayah Modoinding sendiri, dikenal sebagai daerah berhawa dingin di ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut. Daerahnya yang dingin dan subur, membuat tanaman hortikultura sangat cocok di daerah ini.

Bupati Minsel Christiany Euginia Paruntu mengatakan, wilayah Modoinding yang subur, telah menjadi andalan pertanian Sulut, khususnya di bidang tanaman hortikultura. “Modoinding berperan besar dalam menggerakkan ekonomi rakyat Sulut khususnya di Min-
sel,” katanya didampingi Camat Modoinding Hansje Monintja kepada SP di Modoinding, belum lama ini.

Disebutkan, produksi hortikultura dari Minsel, selama ini tak hanya dikonsumsi masyarakat Sulut, tapi juga dikirim ke berbagai daerah di Indonesia, bahkan di ekspor ke luar negeri.
Di antaranya kentang produksinya sekitar 70.000 ton setiap kali panen, sebagian besar dijual keluar daerah. Begitu juga bawang daun mencapai 49.500 ton, wortel 7.000 ton , tomat
11.000 ton, yang dipanen minimal tiga bulan sekali. Produksi hortikultura tersebut, antara lain dikirim ke Papua, Kalimantan Timur (Kaltim), Gorontalo, Sulawesi Tenggara (Sultra), Sulawesi Selatan (Sulsel), dan Maluku. Sedangkan untuk ekspor antara lain ke Philipina Sela-
tan, Australia, dan Malaysia.

“Nilai transaksi dari penjualan hortikultura tersebut cukup besar bisa mencapai Rp 355 miliar setiap kali panen. Hal ini sangat menguntungkan para petani hortikultura di daerah ini,” kata Paruntu. Menurut Paruntu, dengan produksi hortikultura yang cukup besar itu, dapat dikatakan wilayah Modoinding sebagai salah satu daerah terkaya di Sulut. Bahkan Kecamatan Modoinding sering juga dijuluki sebagai “Dapur Hortikultura” di Indonesia Bagian Timur.

Manfaat lain dari tanaman hortikultura ini, daerah tersebut dikembangkan menjadi kawasan objek wisata hortikultura. Tanaman hortikultura yang menarik, memberikan pemandangan alam tersendiri bagi masyarakat. Tak jarang wisatawan mancanegara berkunjung ke Modoinding, hanya untuk menghabiskan waktunya menyaksikan keanekaragaman hortilkutura tersebut di Modoinding.

Tidak Miskin

Camat Modoinding Hansje Monintja mengatakan, penduduk Modoinding saat ini sekitar 12.449 jiwa, sekitar 90 persen petani hortikultura. “Dengan menjual menanam hortikultura, maka tidak ada rakyat kami yang miskin. Tapi, kalau ada yang miskin, hal itu karena mere-
ka malas bekerja,” katanya. Keberhasilan di sektor pertanian tersebut, membuat masyarakat Modoinding bisa menyekolahkan anak-anak mereka sampai ke perguruan tinggi.

Secara terpisah, Sekretaris Desa Linelean, Johanes Lomboan mengatakan, kebutuhan utama para petani hortikultura di desanya saat ini yakni bagaimana agar suplai pupuk tetap stabil
serta ketersediaan sarana irigasi yang memadai.
“Saat ini, ada beberapa saluran irigasi yang kurang baik, dan kami berharap pemerintah bisa membantu memperbaikinya,” katanya. Menurut Johanes, dengan penghasilan rata-rata Rp 20 juta/bulan, kata Johanes, kehidupan penduduk di desanya yang mencapai sekitar 1.751 jiwa, cukup kaya dari hasil pertanian hortikultura.

Feiby Tumbelaka (51), warga Desa Sinisir, yang memiliki lahan hortikultura sekitar 5 ha mengatakan, ia bersama suaminya, mampu menyekolahkan anak dengan penghasilan hortikultura. Feiby mengatakan, bisa mendapatkan penghasilan sekitar Rp 5 juta setiap panen kentang dan sayuran lainnya. Begitu juga Ferry Manimpurung (42), warga Desa Pinasungkulan, yang menjadi pedagang perantara/pembeli hasil pertanian sekaligus menjadi petani hortikultura.

Ferry hanya berharap agar pemerintah dapat membantu membuka pasar yang lebih luas terhadap produksi hortikultura dari Minsel. Sebab, jika produksi melimpah, katanya, maka banyak hortikultura yang tak bisa terjual karena terbatasnya pasar. “Kami berharap pemerintah mencarikan potensi pasar ekspor, sehingga jika musim panen raya tiba, semua hasil produksi bisa terjual dengan baik,” ujarnya.

Namun, yang pasti rakyat Minsel tetap bertekad menjadi “dapur hortikultura” terbesar tak hanya di Indonesia tapi juga di dunia.
[Suara Pembaruan / Fany Waworundeng]

Minsel “Dapur Hortikultura”

Menjadi petani bagi sebagian orang saat ini, mungkin dianggap sebagai profesi rendah dan
hina. Namun, tak demikian dengan warga Kecamatan Modoinding, Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel), Sulawesi Utara (Sulut). Justru masyarakat di wilayah itu, merasa sangat terhormat hidupnya lebih memilih menjadi petani, karena dengan profesi itu, kehidupan mereka bisa jaya seperti sekarang.

Seperti diungkapkan Ferry Manimpurung (42), warga Desa Pinasungkulan, Modoinding, mengatakan dengan menjadi petani, dirinya bisa sukses dan mampu membuka lapangan kerja
serta memiliki keuntungan ratusan juta setiap tahun.  “Karena menjadi petani, justru saya mereka hidup ini sangat terhormat dan mandiri, saya juga bisa membantu orang lain yang hidupnya berkekurangan,” kata Ferry kepada SP, yang menemuinya di Desa Pinasungkulan, belum lama ini.

Dia menceritakan, awalnya dirinya hanya mengikuti orang tuanya mengembangkan tanaman hortikultura, dan keluarganya memiliki keuntungan besar dari hasil tanaman itu. Melihat
kedua orang tuanya sukses menjadi petani hortikultura, maka Ferry pun bertekad mengikuti jejak orang tua. Ia tak merasa malu mencangkul tanah dan menanam jenis-jenis hortikultura
yang memiliki daya saing tinggi di pasaran. Dari keuletannya itu, Ferry pun menjadi salah satu petani Modoinding yang berhasil sampai sekarang.

Awalnya Ferry, menanam tanaman kentang, wortel, bawang daun, dan beberapa jenis tanaman hortikultura lainnya, yang harganya baik di pasaran. Ferry membuka lahan puluhan hektare di desanya, dan usaha pertaniannya terus berhasil dengan penghasilan ratusan juta setiap tahun. Tak puas hanya sebagai petani, Ferry mengembangkan usahanya sebagai pedagang pengumpul. Semua hasil produksi hortikultura dibelinya dari para petani di
beberapa desa di Modoinding. “Hortikultura itu, saya jual keluar daerah bahkan saya mencari mitra usaha untuk bisa memasarkan (mengekspor) produksi hortikultura Modoinding ke luar negeri,” katanya.

Keuletan Ferry tersebut, membuahkan hasil yang tak sedikit. Dari usahanya itu, ia mampu menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi. Ferry pun memiliki 15 tenaga kerja yang bekerja dalam usaha mereka. Karena kesuksesan Ferry tersebut, ia bersama keluarganya menjadi panutan warga Pinasungkulan. Istrinya Ferry, juga akhirnya diangkat menjadi kepala desa di Pinasungkulan.

Ganti Profesi

Kisah sukses lainnya, juga dialami Johanes Lomboan (53). Petani asal Desa Linelean ini, menanam kentang, bawang daun, wortel serta beberapa jenis sayuran di atas lahan empat
hektare. Dengan usaha itu, Johanes mengaku memperoleh penghasilan sekitar Rp 20 juta/bulan. Lomboan, yang kemudian juga lolos menjadi pegawai negeri sipil (PNS), di-
angkat menjadi Sekretaris Desa Linelean.

“Gaji sebagai PNS tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Karena itu, saya merangkap menjadi petani,” katanya.

Saat ini, perputaran uang di Modoinding diperkirakan mencapai Rp 355 miliar setiap tahun. Menurut Camat Modoinding Hansje Monintja, warganya termasuk yang berpenghasilan tinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya di Sulut. “Dengan perputaran uang tersebut, maka tidak ada warga kami yang dikategorikan miskin. Kami semua bekerja keras untuk hidup lebih baik,” katanya.

(Suara Pembaruan / Fanny Waworundeng)

Daftar Blog 'Orang Kampoeng'